Peran Orang Tua dalam Membangun Peradaban Islam
Keluarga merupakan pondasi awal memahami agama. Dari sanalah lahir para pemimpin hebat, bibit-bibit unggul dalam memperjuangkan kalimat-kalimat Allah SWT. Peran terbesar dalam keluarga ada pada kaum wanita (ibu). Baik buruknya peradaban suatu bangsa berasal dari baik buruknya para wanita, lantaran ia merupakan pilar peradaban. Karena itulah, Islam mengangkat wanita dalam setiap lini kehidupan sebagai pendidik generasi. Ia merupakan al-Madrasah al-Ula bagi anak-anaknya, mendidik anak-anaknya dengan penuh kesabaran. Walaupun lelah sekalipun ia akan terus berjuang hingga memastikan kelak anaknya berhasil menjadi salah satu penerus pejuang generasi Islam di masa depan. Wanita sholehah merupakan rahim peradaban, sebab dari rahim tersebut muncul lah bibit-bibit unggul seorang pejuang kejayaan Islam. Tak menafikkan pula bahwa laki-laki pun sama dibutuhkannya sebagaimana wanita, saling bekerjasama merealisasikan visi misi dan saling bertukar pemikiran demi menyukseskan sebuah tujuan.
Mengutip salah satu perkataan ustadz Abdil Bari dalam bukunya yang berjudul “Keluarga Bervisi Surga, ia bertutur, “sebuah keluarga adalah tempat pertama dalam membangun peradaban. Berawal dari peradaban mini yang berbentuk keluarga ini akan tercipta pula masyarakat yang baik, dan masyarakat yang baik akan membentuk negara yang baik, negara yang baik akan membentuk sebuah peradaban yang baik pula. Inilah peradaban yang mampu dibuat oleh generasi-generasi awal kejayaan Islam, peradaban ini jauh berada di atas peradaban-peradaban lain yang pernah ada.”
Tulisan ini didedikasikan kepada mereka para kaum pelajar yang hingga saat ini masih bertanya-tanya tentang apa tujuan setelah ini?. Setelah menempuh pendidikan panjang ini dan setelah kelulusan nanti, apa rencana setelahnya?. Persiapan seperti apa yang sudah disiapkan?. Tantangan umat Islam saat ini sangat berat, dan sudah semestinya kita sadar sebagai seorang pelajar mempersiapkan diri untuk penerus Islam selanjutnya. Jika Islam berhenti di tangan kita lalu siapa yang akan meneruskan risalah Islam nantinya. Secara tidak langsung kita dituntut untuk terus giat menimba ilmu, menjalankan syaria-syariat Islam yang telah tertuang dalam Al-Qur’an dan Hadits. Dalam sebuah keluarga, jika kita tidak mampu mendidik diri sendiri, lalu bagaimana mendidik anak kita nanti.
Mengulas sejarah perjalanan para Nabi dan Rasul beserta sahabat-sahabat terdahulu, mereka tidak ada henti-hentinya menyebarkan dakwah Islam. Sebagaimana Nabi Zakaria saat usia tua, ia belum juga dikaruniai seorang anak oleh Allah. Nabi Zakaria khawatir akan tidak adanya generasi penerus sebagai penyambung dakwah, kemudian ia berdo’a pada Allah SWT: "Di sana lah Zakaria berdo’a kepada Tuhannya. Dia berkata, Ya Tuhanku, berilah aku keturunan yang baik dari sisi-Mu, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar doa" (QS Ali Imran: 38)
Nabi Zakaria ikhlas akan ketetapan Allah, hanya saja ia sangat khawatir siapa nantinya yang akan meneruskan dakwahnya. Hingga turun lah ayat yang menjawab segala kegelisahannya; “Kemudian Malaikat (Jibril) memanggil Zakariya, sedang ia tengah berdiri melakukan shalat di mihrab (katanya): "Sesungguhnya Allah menggembirakan kamu dengan kelahiran (seorang puteramu) Yahya, yang membenarkan kalimat (yang datang) dari Allah, menjadi ikutan, menahan diri (dari hawa nafsu) dan seorang Nabi termasuk keturunan orang-orang sholeh” (QS. Ali Imran: 39)
Sudahkah kita mencontoh kekhawatiran Nabi Zakaria akan pentingnya penerus dakwah Islam, bukan hanya kekhawatiran akan tidak ada generasi penerus (anak). Mari kita bersama-sama mempersiapkan diri demi keutuhan dan gemilangnya peradaban Islam di masa depan. Semoga kita menjadi salah satu di antara pejuang Islam yang turut andil membela agama Allah SWT.
Author : El_Chansa