Cahaya Iman dalam Menilai Takdir Allah SWT
Rela terhadap ketentuan Allah SWT adalah harapan tertinggi dalam setiap individu muslim. Dengannya ia akan sampai kepada tujuan dan memperoleh surga Rabb-Nya. Seorang insan yang rela dengan ketentuan dan takdir Allah SWT, akan direlakan segala amal-amalannya di akhirat kelak.
Rela berarti tidak terkejut menghadapi segala urusan dunia. Gembira, tenang, dan mengucapkan alhamdulillah dalam keadaan apa pun. Tingkatan rela yang tertinggi adalah rela terhadap keputusan Allah SWT, yang dengannya rukun iman menjadi sempurna. Tingkatan yang tertinggi tadi adalah satu tingkat di bawah Islam. Iman seorang Mukmin hanya sempurna jika ia rela terhadap keputusan Allah SWT, baik dan buruk.
Sesungguhnya manusia adalah sempurna dalam keterbatasannya. Maka dari itu, kebahagiaan tertinggi adalah ketika seorang insan mampu memutarbalik kesombongan diri. Mampu pula menangis ketika menerima anugerah Allah SWT, serta mampu tertawa ketika mendapat cobaan-Nya. Keterbatasan manusia menunjukkan betapa takdir Allah SWT, baik dan buruknya adalah selalu yang terbaik bagi diri seorang makhluk. Allah SWT tidak pernah menciptakan kesia-siaan dalam segala takdirnya. Allah SWT berfirman:
لَقَدْ خَلَقْنَا الْاِنْسَانَ فِيْ كَبَدٍۗ
“Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah.” (QS. Al Balad/90: 4)
Dalam menjalankan kehidupan, setiap insan pasti diberikan sebuah beban sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan Allah SWT. Di samping itu, diberikan pula sebuah impian yang mampu menjadikan seorang insan memiliki sebuah harapan. Dalam meringankan beban dan mencapai impian, seorang insan menempuh jalan keluarnya dengan pola pikir berbeda-beda. Ada yang didasari dengan iman, dan ada pula yang didasari dengan selainnya demi terwujudnya keinginan. Tanpa disadari, hal tersebut tidak sesuai dengan apa yang diharapkan.
وَعَسٰٓى اَنْ تَكْرَهُوْا شَيْـًٔا وَّهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۚ وَعَسٰٓى اَنْ تُحِبُّوْا شَيْـًٔا وَّهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ ۗ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ وَاَنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ ࣖ
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah SWT mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al Baqarah/2: 216)
Ayat di atas merupakan kaidah agung, kaidah yang memiliki hubungan erat dengan salah satu prinsip keimanan, yaitu iman kepada Qadha dan Qodar. Menjelaskan secara rinci bahwa setiap musibah dan peristiwa yang menimpa setiap individu manusia telah ditentukan oleh Allah SWT. Bahkan setiap peristiwa memiliki hikmah yang terkandung nilai-nilai tinggi baik itu peristiwa buruk sekalipun. Karena sesungguhnya buruk bagi seorang makhluk, belum tentu buruk bagi sang Khaliq, begitu pula sebaliknya. Janganlah terperdaya dengan sebuah peristiwa baik pula, karena bisa jadi itu dapat menjadikan kita bumerang di hari kedepannya.
Segala sesuatu yang terjadi pada seorang muslim akan diterima dengan lapang dada. Karena hal tersebut dianggapnya sebagai sebuah bentuk kasih sayang Allah SWT kepada setiap hamba. Ujian dan cobaan hadir kepadanya tiada lain disebabkan oleh kecintaan Allah SWT untuk membentuk kesempurnaan diri pada setiap individu muslim dan kesempurnaan nikmat yang diberikan. Maka dari itu yakin dan rela terhadap apa yang ditentukan oleh Allah SWT merupakan bentuk implementasi seorang muslim agar senantiasa tenang dalam menilai sebuah peristiwa dengan didasari dengan keimanan yang tertanam pada dirinya. Percayalah bahwa keputusan Allah SWT adalah yang terbaik bagi setiap makhluk.
فَعَسٰٓى اَنْ تَكْرَهُوْا شَيْـًٔا وَّيَجْعَلَ اللّٰهُ فِيْهِ خَيْرًا كَثِيْرًا
“Mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah SWT menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS. An Nisa/4: 19)
Seorang muslim patut bertawakal kepada segala pemberian Allah SWT. Namun terkadang dalam menilai sebuah kejadian, sikap tawakal ini sulit hadir dalam hati seorang insan. Buya Yahya dalam tausiyahnya menerangkan bahwa sikap tawakal akan senantiasa muncul dalam hati mereka yang senantiasa tenang dalam menghadapi segala sesuatu. Dengan hati yang tenang akan terdorong rasa bersyukur, karena dengannya dapat meyakinkan diri bahwa setiap peristiwa yang terjadi adalah bentuk kecintaan Allah SWT terhadap seorang hamba. Berbeda dengan seseorang yang tidak tertanam tawakal, selalu berharap diberikan yang terbaik tetapi tak penah puas dengan apa yang diberikan oleh Allah SWT kepadanya.
Hal ini mestinya menjadi bahan ajaran setiap insan, bahwa setiap hati yang bersih dan tertanam bentuk tawakal akan menjadikannya kuat dalam menerima apapun dan melayakkan seorang insan untuk memohon diberikan sesuatu kepada sang Khaliq. Menjadi bahan renungan kita, sudahkah pantas hamba ini meminta sesuatu kepada-Nya?
سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْاَعْلَىۙ الَّذِيْ خَلَقَ فَسَوّٰىۖ وَالَّذِيْ قَدَّرَ فَهَدٰىۖ
“Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Maha Tinggi; yang menciptakan, lalu menyempurnakan (ciptaan-Nya); yang menentukan kadat (masing-masing) dan memberi petunjuk.”
Percayalah bahwa setiap yang kita minta, mohon, dan harapkan kepada Allah SWT itu akan direalisasikan-Nya apabila keikhlasan dan kerelaan terhadap segala ketentuan Allah SWT tertanam dalam benak.
Author :
Ismail Fikri Al bugori (Mahasiswa STIQ Ar-Rahman Prodi Ilmu Al Quran dan Tafsir Sem IV) & Zalfa Zaidan (Mahasiswa STIQ Ar-Rahman Prodi Ilmu Al Quran dan Tafsir Sem II)